Seorang Gadis yang Terluka oleh Dunia yang Teramat Palsu: December 2016

Friday 9 December 2016

Tentang Hati yang (pernah) Patah

Seperti judulnya, hatiku pernah patah. Ya, patah. Namun tak begitu parah, karena aku hanya memakainya setengah.

Hatiku pernah patah. Patah saat aku membohongi perasaanku sendiri dengan menolak dia yang kusayangi ketika dia menawarkan dirinya untuk kumiliki hanya karena egoku yang terlalu tinggi.

Aku menolak karena dia pernah meninggalkanku untuk orang lain. Karena itulah aku tidak bisa menerimanya saat dia kembali datang karena menyesal.

Hampir satu tahun aku hidup dengan kemunafikan seperti ini. Menyayanginya dan (sangat) dekat dengannya namun aku selalu enggan menerima cintanya.

Perjalanan cintaku tak hanya sampai disitu saja, masih berepisode panjang. Dan tiba saat hatiku patah (lagi).

Hatiku pernah patah (lagi). Namun kali ini patah karena dipatahkan (bukan aku). Saat hatiku sepenuhnya kupercayakan padanya, kupikir dia dapat menjaga dan merawatnya (hatiku) dengan baik.

Di awal memang dia menjaganya dengan baik, bahkan dengan sangat baik. Hingga perlakuannya membuatku luluh. Namun itu tak bertahan lama. Entah sengaja atau tidak, sikapnya mulai berubah. Sikapnya tersebut mematahkan hatiku.

Sakit, kecewa, sedih semua membaur menjadi satu, hingga aku enggan mempercayakan hatiku kepada siapapun lagi. Perasaan takut akan kejadian yang lalu terulang lagi dan hatiku akan patah untuk yang kedua kalinya. Aku tidak mau.

Episode selanjutnya, aku mulai belajar dari pengalaman.

Hatiku pernah patah, kemudian patah (lagi). Aku tidak ingin hatiku semakin hancur. Aku mulai belajar dari pengalaman; aku menjalin hubungan tidak dengan hati. Jahat memang. Namun sangat sukar untuk menggunakan hati kembali.

Tak ada rasa cinta, tak ada rasa sayang, tak ada rasa nyaman. Ini hubungan macam apa aku sendiripun tak mengerti. Semuanya mengalir seperti air, tapi tidak dengan perasaanku.

Saat aku berpisah, hatiku patah namun tak begitu parah, karena aku hanya memakainya setengah (bahkan tidak).

Episode selanjutnya, aku mulai takut hatiku kembali patah.

Sangat sulit untuk mengubah status pertemanan menjadi percintaan. Aku takut jika salah satunya kelak meninggalkan, kedua hubungan tersebut akan berantakan.

Aku belum mempercayakan hatiku kepada orang lain sampai saat ini. Aku masih enggan. Aku belum siap jika hatiku kembali patah.

Aku selalu egois dalam hal ini. Aku hanya memikirkan hati dan perasaanku sendiri tanpa mempedulikan hati dan perasaan seseorang.

Aku hanya berharap, jika dia memang tulus, dia tak akan pergi saat aku bertingkah seperti ini. Dia akan tetap disisiku dan berjuang untuk memenangkan hatiku.

White Penis