Seorang Gadis yang Terluka oleh Dunia yang Teramat Palsu: Sebuah Akhir Pencarian

Wednesday 27 March 2019

Sebuah Akhir Pencarian

Beberapa hari sebelum saya pergi, saya sering kepikiran Bapak. Tidak tau kenapa, mungkin beliau sakit atau terjadi apa-apa? Tapi seperti sebelum-sebelumnya, saya hanya takut kalau saya pergi tidak membuahkan hasil. Bukan masalah seberapa jauhnya, toh hanya Banjarnegara saja. Kota-kota lain yang lebih jauh sudah pernah saya kunjungi. Tapi ya balik lagi, saya hanya takut semua sia-sia saja. Ditambah lagi keluarga saya disini melarang keras saya berhubungan dengan beliau. Ibarat kata "buat apa cari orang ngga mau ngurus lu dari kecil, pergi ngga pamit dan tanpa ngasih duit buat nafkahin". Tapi kembali lagi, apa salah seorang anak ingin bertemu Bapaknya?

Cukup lama saya berpikir saya akan pergi atau tidak. Akhirnya saya minta saran ke beberapa orang. Dan jawabannya cuma sabar. Lah kaga nyambung. ANJING EMANG! Ya makin kesini saya semakin kepikiran. Dan akhirnya saya putuskan saya coba cari info dulu keberadaan beliau. Karena emang saya tidak tau beliau tinggal dimana. Di rumah lama kamipun beliau sudah tidak pernah kesana. Konon katanya beliau tinggal dengan istri dan anak-anaknya.

Langkah pertama saya coba untuk gabung grup fb Banjarnegara disana dan saya posting satu alamat yang saya ketahui itu alamat istri beliau. Saya cerita sedikit kalau saya sudah lama sekali tidak bertemu bapak saya dan saya ingin mencarinya kembali. Saya bertanya bagaimana cara saya agar bisa sampai alamat tersebut, transportasi apa yang harus saya naiki. Karena memang alamat itu jauh dengan rumah kami dulu. Rumah kami di kota dekat alun-alun dan alamat tersebut di perbatasan Banyumas. Banyak respon baik yang saya peroleh dari warga grup tersebut. Sampai ada Pak Kades yang turun tangan membantu saya.

Pagi tanggal 22/02/19 saya berangkat ke terminal giwangan. Seperti biasa saya sendirian. Saya naik bus efisiensi tujuan Purbalingga. Ada sekitar 5 jam an perjalanan saya dari Jogja kesana. Saya turun di RSUD Banyumas dan bergegas memberi kabar Pak Kades, ternyata beliau sudah menunggu saya di depan RS.

Dipersilakan saya masuk ke mobil dan tanpa banyak bincang panjang lebar beliau bisa menebak siapa yang saya cari. Dan ternyata Bapak saya sering debat dengan Pak Kades ini. Jadi jangan heran kalau saya sering debat, ya karena keturunan dari Bapaknya hhe.

Di perjalanan Pak Kades memberi saya pilihan untuk langsung ikut ke rumah Bapak atau menunggu di rumah Pak Kades. Ya saya jelas pilih ikut dong. Saya takut kalau tidak saya gap duluan, bakal akan pergi lebih jauh lagi. Perlu diketahui Bapak selalu pergi kalau saya cari. Tapi Pak Kades malah minta saya menunggu di rumahnya biar Bapak saya dijemput oleh Pak Kades. Yasudah saya manut.

Setibanya saya di rumah Pak Kades ternyata tidak ada sinyal. Parah. Saya cuma mau memberi kabar ke teman saya kalau saya sudah sampai. Selang 15 menit datanglah Bapak saya naik sepeda motor. Saya lari saya peluk saya nangis sejadi-jadinya. Saya marah.
Kenapa harus saya yang datang kemari?
Selama ini Bapak kemana ngga nyari saya yang jelas ada di rumah?
Kenapa justru saya yang harus repot-repot kesana-kemari cari Bapak yang tidak tentu dimana keberadaannya?

Saya semakin marah saat saya menangis tersedu-sedu, Bapak justru tidak menangis sama sekali. Dia hanya senyum cenengengesan bahkan tertawa. Apa ini lucu?

Lepas dari rumah Pak Kades, Bapak mengajak saya ke rumahnya. Ini dia yang saya tunggu-tunggu. Saya sangat penasaran kehidupan seperti apa yang ia jalani saat ini, hingga sampai hati meniggalkan keluarga lamanya.

Jalan demi jalan kami susuri, gang demi gang kami lewati, dan ibu-ibu demi ibu-ibu kami temui. Warga sekitar memandang terheran-heran karena baru pertama kali melihat saya disana ditambah dengan berboncengan dengan Bapak.

Setiba di rumah Bapak, untukn pertama kali saya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah Ibu tiri saya. Keadaan rumahnya biasa saja, bisa dibilang lebih bawah dari keadaan keluarga saya sekarang, hanya saja terdapat beberapa barang yang saya tidak punya di rumah. Ibu tiri saya juga biasa saja. Yang tadinya saya mempunyai niat ingin memakinya karena sudah merusak keluarga saya, saya urungkan. Ya karena tidak setengil yang saya kira. Mengobrol dengan saya saja malu tidak menatap. Ya intinya seperti takut. Dan disana ternyata saya punya 3 adik. Hehe banyak. Paling besar laki-laki SMP kelas 1, kedua perempuan SD kelas 3, dan yang terakhir perempuan juga SD kelas 1. Semuanya pendiam. Bukan anak-anak rewel.

Malam harinya saya tidur di kamar adik saya yang paling besar. Masih bingung dengan semua yang terjadi, netes aja gitu air mata. Tiba-tiba ketiga adik saya tiga-tiganya manggil ngajak makan malam. Ya. untuk pertama kalinya saya merasakan makan keluarga.

Selepas makan malam mereka belajar didampingi Ibu mereka dan Bapak ngobrol dengan saya. Segala pertanyaan yang selama ini berkecamuk dipikiran saya akhirnya terjawab sudah. Entah Bapak bernohong atau tidak saya juga tidak tau.

Bapak bilang sering ke Jogja untuk menitipkan nomor di tetangga saya. Hanya saja Bapak tidsak pernah sampai ke rumah. Katanya hatinya kecil, tidak bisa jika menerima caci maki dari Ibu. Ya. Bapak dan Ibu memang tidak pernah akur sejak saya kecil. Saya jarang bisa bersama keduanya, selalu silih berganti, kalau tidak dengan Ibu ya dengan Bapak.

Bapak juga bilang beliau pernah ke Jogja dengan adik saya yang paling besar, Miko. Menginap di hotel Matahari dan janjian bertemu dengan tetangga saya yang dititipi nomor tapi tidak pernah sampai ke saya itu. Tapi justru Bapak ketemu dengan Kakek saya. Kakek saya orang pertama yang sangat benci dengan Bapak. Terbukti waktu pertama kali saya cari Bapak ke luar kota  dan saya bilang ke Kakek, beliau justru maki-maki saya habis-habisan. Ya yang ada di pikiran saya memang salah anak mau bertemu Bapaknya? Oke balik ke cerita. Disitu untuk pertama kalinya Kakek bilang ke Bapak jika tidak usah kemari lagi, Kakek yang akan menanggung seluruh kehidupan saya dan Ibu. Dan yang lebih saya kaget ketika Bapak bilang dulu jika Ibu sampai ikut Bapak, Ibu tidak akan dianggap anak oleh kakek saya. Sebegitunya? Itu alasan kenapa keluarga kami tidak pernah menetap, selalu berpindah dari Banjar ke Palu, dari Palu ke Semarang hingga akhirnya saya menetap di Jogja setelah kedua orang tua saya berpisah.

Cukup syok mendengar penjelasan itu. Kenapa saya baru tau hari ini? Kenapa kakek saya sebegitu egois? Kenapa keluarga saya yang hancur? Dan kenapa saya yang menjadi korban?

Banjarnegara
23 Februari 2019

Tadinya sebelum pergi, saya meminta seseorang untuk jangan beranjak dari ponsel. Saya ingin bercerita perjalanan saya jika sekiranya ada hal yang saya tidak bisa menanggungnya sendirian. Tapi semua keinginan itu tiba-tiba hilang. Saya stag tidak bisa berkata apa-apa kepada siapapun karena saya sendiri masih belum bisa menerinma. Yang ada di pikiran saya, saya besok sudah harus pergi dari sini. Pagi harinya saya bangun tidur, mandi, makan dan berbincang sebentar lalu saya berpamitan pergi. Saya cari tiket bus dan saya ke Semarang saat itu juga.

Mungkin kalian bingung, belasan tahun saya tidak bertemu Bapak, dan baru sehari saya langsung pergi setelah bisa bertemu?

Ya. Semua semata-mata karena saya belum bisa menerima pernyartaan dari Bapak saya. Otak saya tidak bisa mencerna semuanya. Perasaan marah, benci, sedih semua berkecamuk. Maka dari itu daripada saya stress, saya pilih pergi menyingkir dahulu.

1 comment:

White Penis